Tulisan ini akan menjadi cerita penutup di serial cerita pendaki, terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti cerita pendaki dari #1 - #10. Pendakian ke Gunung Merbabu dilakukan di hari yang sama setelah turun dari pendakian Gunung Lawu, dan memang saya berencana mendaki tiga gunung sekaligus, Lawu, Merbabu dan Merapi dulu ekspedisi ini dikenal dengan nama "double ML". Sampai di kaki Gunung Lawu siang menuju sore, setelah istirahat dan membersihkan diri, sore hari saya lanjutkan perjalanan menuju kaki merbabu di selo jawa tengah. Saat sampai di daerah Boyolali hari sudah gelap dan ternyata angkutan menuju selo sudah tidak ada. oh iya, di pendakian lawu saya bertemu dengan pendaki lain dari tasikmalaya, jadi kami ajak melanjutkan pendakian ke merbabu (sebelumnya mereka akan langsung pulang setelah turun dari lawu) dan sekarang rombongan pendakian menjadi enam orang. Sempat kebingungan karena angkutan umum menuju selo sudah tidak ada, saya berinisiatif untuk menumpang angkutan pribadi dengan membayar ongkos yang sesuai tentunya. Tetapi beberapa kali saya mengacungkan jempol tanda meminta tumpangan tidak ada yang berhenti, kemungkinan mereka melihat enam orang membawa ransel besar dan merasa tidak aman untuk memberikan tumpangan haha.. Akhirnya saya meminta lima orang lainnya untuk menunggu ditempat yang tidak terlalu mencolok dan hasilnya, mobil pertama yang saya minta tumpangan langsung berhenti :)
Saya jelaskan bahwa saya dan lima orang lainnya perlu tumpangan ke daerah selo untuk pendakian ke merbabu, pria separuh baya dibelakang kemudi setuju mengantar tapi hanya sampai pasar (lupa nama pasarnya) dari sana disarankan saya menumpang mobil sayur bak terbuka yang akan menuju selo. Ongkos juga telah disepakati, nilai nya saya sudah tidak ingat lagi :(
Sampai di pasar yang dimaksud saya langsung mencari info untuk menumpang angkutan yang menuju selo, beruntung tidak lama lagi memang ada mobil bak terbuka yang akan menuju selo, setelah negosiasi harga saya diizinkan untuk menumpang sampai selo yang merupakan desa terakhir untuk menuju pos pendakian gunung merbabu. Peraturan saat itu pendaki harus melaporkan ke polisi setempat jika ingin melakukan pendakian merbabu, saya mengikuti prosedur melapor dan mulai berjalan kaki menuju pos pendakian merbabu. Kalo tidak salah ingat, perjalanan dimulai jam 9 malam dari jalan raya terakhir menuju jalan desa dan sampai sekitar jam 11 malam. Ini merupakan salah satu pos pendakian terjauh dari akses jalan raya dibanding dengan pendakian-pendakian sebelumnya. Sampai di pos pendakian, saya berpapasan dengan satu rombongan pendaki yang mulai pendakian, sementara saya istirahat dan mulai memasak untuk makan malam.
Jam 1 malam, saya memutuskan untuk memulai pendakian dengan meninggalkan beberapa perlengkapan di basecamp, kebetulan satu orang dari tim memutuskan untuk tidak ikut mendaki dan bersedia menjaga perlengkapan di basecamp. Saya meninggalkan tenda dan beberapa perlengkapan camping, saya hanya membawa sleeping bag perbekalan dan peralatan masak dengan pertimbangan bahwa saat itu adalah puncak musim kemarau dengan kemungkinan hujan yang sangat kecil sekali , berdasarkan informasi di basecamp sudah berminggu-minggu tidak turun hujan. Saya tidak membenarkan hal seperti ini, segala sesuatu bisa terjadi di alam sana, perlengkapan yang lengkap saat mendaki gunung adalah hal yang mutlak. Jadi hal salah yang pernah saya lakukan tidak untuk ditiru !
Dua jam berjalan saya mersakan ada yang aneh dengan jalur pendakian, tidak seperti jalur pada umumnya, pohon kiri kanan seperti baru ditebang, tapi karena cuaca yang cerah saya bisa melihat pendaki lain yang sudah berada lebih atas dan tetap melanjutkan perjalanan mengikuti terus jalan setapak (pas turun baru tahu ternyata yang saya lewati pada saat naik adalah jalur baru, turun menggunakan jalur lama). Kondisi badan yang letih dan belum tidur mendorong beberapa kali mendiskusikan opsi untuk istirahat tidur atau melanjutkan perjalanan dengan menyimpan ransel dan hanya membawa perbekalan makan minum yang sudah jadi. Opsi yang saya ambil adalah opsi yang tidak didiskusikan yaitu tetap melanjutkan perjalanan secara perlahan sampai mendapatkan area yang bagus untuk istirahat dan tidur. Jam 5 kurang saya sampai di area yang sangat luas (sekarang dikenal dengan sabana 1) dan di cakrawala terlihat matahari sedang bersiap untuk menampakan diri. Dari tempat itu puncak merbabu sudah terlihat dan gunung merapi di arah selatan terlihat utuh.
Setelah mengambil beberapa foto, saya berdiskusi dan memutuskan untuk istirahat tidur di bawah vegetasi-vegatasi yang rendah menggunakan alas matras dan sleeping bag. Saya tidak menargetkan jam berapa harus bangun karena memang meskipun perlengkapan camping saya tinggalkan di basecamp saya membawa perbekalan yang cukup banyak. Tetapi ternyata saya tidak bisa tidur karena mendengar suara-suara pendaki lain yang akan menuju puncak, oleh karena itu saya bergegas memasak dan berniat melanjutkan pendakian ke puncak sendirian, tetapi sepupu saya yang sebelumnya sudah tertidur ikut terbangun dan setelah sarapan pagi kami melanjutkan pendakian berdua sementara tiga orang lainnya tertidur pulas.
Pemandangan sepanjang perjalanan ke puncak sungguh luar biasa, karena dari area sabana sampai puncak sudah tidak ada lagi pohon-pohon tinggi jadi pandangan kita akan terbuka kesemua area. satu jam perjalanan ke puncak, 15 menit istirahat di puncak dan 45 turun kembali ke sabana, sebelum sampai sabana satu, saya sempat berpapasan dengan satu orang tim yang akan melanjutkan ke puncak. Total dari lima orang yang mendaki merbabu, tiga orang sampai puncak dan dua orang sampai sabana saja. Sambil menunggu satu orang yang sedang muncak dengan estimasi waktu dua jam saya beristirahat tidur.
Jujur saja saya sudah lupa detail jam nya, setelah tim lengkap kembali, saya memasak untuk makan siang serta mulai packing untuk turun ke basecamp dan melanjutkan pendakian ke gunung merapi bertiga karena tim yang bertemu di lawu memutuskan pulang setelah pendakian merbabu ini. Perjalanan turun melalui jalur lama, medannya sungguh luar biasa, membayangkan semalam lewat jalur ini kemungkinan untuk berhenti tidur di tengah pendakian sangat tinggi sekali. Semua berjalan lancar semua tim berjalan berdekatan dengan terbagi menjadi dua tim kecil, saya berada didepan berdua dengan salah satu tim, sementara sepupu dan teman saya dan seorang tim lain berada di belakang. Jika menjauh dengan tanda suara lonceng salah satu tim tidak terdengar saya berhenti dan seidkit berteriak memanggil, jika ada jawaban saya melanjutkan kembali perjalanan. Sampai di area sudah mendekati perkebunan warga, suara adzan ashar pun sudah terdengar, saya sempat berhenti karena lonceng tidak terdengar kemuadian memanggil dan ada jawaban karena merasa sudah dekat dengan basecamp mungkin sekitar 20-30 menit dari basecamp saya mempercepat langkah dengan anggapan jalur sudah aman.
Jalan warga sudah terlihat saya berhenti kembali untuk menunggu tim di belakang, 10 menit berlalu belum ada tanda-tanda yang datang, sempat kembali naik untuk mencari keberadaan mereka tapi nihil. Saya berdua memutuskan untuk menunggu di basecamp sambil membersihkan diri dan packing untuk perjalanan berikutnya. 30 menit berlalu, saya mulai merasa ada yang tidak beres, karena total sudah satu jam jika dihitung dari saat menunggu dijalur pendakian terakhir. Satu tim yang tidak ikut mendaki mencoba naik ke jalur dan mencoba mencari keberadaan tiga orang teman kami tapi hasil nya nihil. Tersesat adalah kemungkinan satu satunya saat itu, karena jika ada salah satu tim yang cedera karena jatuh atau apapun itu pasti ada tim yang turun untuk meminta pertolongan, tapi saya merasa heran karena seingat saya dalam jalur tidak ada cabang ke arah lain. Saya coba menunggu sampai magrib jika masih belum ada yang turun saya akan turun ke polisi setempat dan membuat laporan. Hampir dua jam menunggu suasana hati saya tidak karuan, hasrat untuk mendaki gunung merapi pun sudah tidak ada lagi, yang dipikiran saat itu adalah semoga semua teman kami dapat turun dengan selamat tanpa kurang apapun.
Jam 17.30 akhirnya sepupu saya datang menggunakan motor dari arah bawah dengan wajah tidak karuan dan penuh kotoran tanah, tidak lama di susul dua tim lainnya sama menggunakan ojek. Lega akhirnya melihat mereka semua selamat sampai basecamp, sambil bercerita ketiga tim bergegas makan dan membersihkan diri, kami sepakat untuk tidak melanjutkan pendakian ke gunung merapi dan akan langsung pulang ke tasikmalaya. Berdasarkan cerita sepupu saya ternyata mereka mengambil jalan lurus saat sudah mendekati kebun warga, saat salah mengambil jalur sempat terjadi perdebatan dan seorang ingin kembali keatas untuk mencari jalur yang benar, tapi dua orang berpendapat untuk melanjutkan berjalan kaki karena merasa sudah terlanjur dan tersesat menuju perkebunan warga, mereka tersesat sangat jauh dan turun di dusun yang berbeda karena mereka harus membayar ojek masing masing sebesar Rp 50.000 (sebelumnya meminta Rp 75.000) pada tahun itu uang sebesar itu sangatlah besar.
Hari mulai gelap, kami melanjutkan berjalan menuju jalan raya walaupun berdasarkan informasi, angkutan umum dari selo menuju daerah lainnya (saya berencana pulang menggunakan kereta dari yogyakarta) hanya sampai jam enam sore. Sampai di jalan raya jam 19.30 dan memang sudah tidak ada angkutan umum yang melintas ke selo baik ke arah boyolali ataupun muntilan. Beberapa kali memberhentikan angkutan bak terbuka tapi tidak ada yang mau mengangkut kami meski sudah diinformasikan kami akan membayar ongkos yang sesuai. Akhirnya ada pendaki lokal (jawa tengah) yang akan mendaki merbabu dan membantu negosiasi pada kendaraan yang kami hentikan berikutnya dengan menggunakan bahasa jawa, hasilnya kendaraan bak terbuka mau mengantar kami ke magelang dengan ongkos yang disepakati, awalnya ditawarkan untuk diantar ke muntilan dimana lokasi lebih dekat ke yogyakarta, tapi ketersediaan kendaraan umum dari muntilan ke yogyakarta tidak bisa dijamin pada waktu itu. Saya pernah ke magelang saat pendakian sindoro-sumbing jadi hapal betul ada bus ke arah yogyakarta dari magelang.
Manusia hanya bisa merencanakan, sampai di magelang ternyata bus yang dimaksud sedang tidak beroperasi, entah mogok/demo atau sebab lainnya, tapi penumpang ke arah yogyakarta diangkut menggunakan omprengan atau angkutan ilegal dan menawarkan harga dua kali lipat, saya dan yang lainnya sudah kehabisan uang karena beberapa kejadian diluar rencana dan tidak sanggup untuk membayar ongkos lebih mahal lagi, karena kami harus membeli tiket kereta untuk pulang. Jadi, kami memutuskan untuk mencari mesjid untuk menginap dan melanjutkan perjalanan esok hari karena masih ada logistik untuk sampai esok hari. Sedang berjalan menjauh dari mobil omprengan tiba tiba kami di hampiri setengah tergesa oleh ibu-ibu dan menawarkan kami berenam untuk tetap menaikin mobil omprengan dengan ongkos normal dan kekeurangannya beliau yang bayar. Beliau menjelaskan bahwa beliau adalah dosen salah satu universitas negeri ternama di yogyakarta dan harus mengejar pesawat malam itu juga sedangkan mobil omprengan tidak akan berangkat jika belum penuh dan kalo kami berenam naik mobil itu bisa langsung berangkat. Banyak hal yang diluar dugaan memang saat saya melakukan petualangan pendakian gunung, ini salah satu yang bisa saya ceritakan.
Saya bisa langsung berangkat ke yogyakarta berkat ibu yang baik hati dan saya juga bisa berangkat pulang dengan kereta malam itu juga, saya doakan semoga ibu juga bisa mengejar pesawat tanpa terlambat.
Saya dan teman-teman sampai ditempat tinggal masing-masing dengan selamat, terimakasih atas pelajaran hidup yang saya dapatkan selama melakukan pendakian gunung, masih banyak orang baik di dunia ini, berbuat baik tidak perlu kepada orang yang kita kenal, kita berbuat baik kepada orang lain yakinlah orang lainpun akan memperlakukan kita dengan lebih baik. Setelah pendakian ini, saya sempat melakukan beberapa petualangan lain tapi pendakian ini menjadi penutup serial cerita pendaki yang saya tulis. terima kasih sekali lagi saya ucapkan kepada para pembaca cerita pendaki, nantikan tulisan saya yang lain di blog ini, see u :)
Manusia hanya bisa merencanakan, sampai di magelang ternyata bus yang dimaksud sedang tidak beroperasi, entah mogok/demo atau sebab lainnya, tapi penumpang ke arah yogyakarta diangkut menggunakan omprengan atau angkutan ilegal dan menawarkan harga dua kali lipat, saya dan yang lainnya sudah kehabisan uang karena beberapa kejadian diluar rencana dan tidak sanggup untuk membayar ongkos lebih mahal lagi, karena kami harus membeli tiket kereta untuk pulang. Jadi, kami memutuskan untuk mencari mesjid untuk menginap dan melanjutkan perjalanan esok hari karena masih ada logistik untuk sampai esok hari. Sedang berjalan menjauh dari mobil omprengan tiba tiba kami di hampiri setengah tergesa oleh ibu-ibu dan menawarkan kami berenam untuk tetap menaikin mobil omprengan dengan ongkos normal dan kekeurangannya beliau yang bayar. Beliau menjelaskan bahwa beliau adalah dosen salah satu universitas negeri ternama di yogyakarta dan harus mengejar pesawat malam itu juga sedangkan mobil omprengan tidak akan berangkat jika belum penuh dan kalo kami berenam naik mobil itu bisa langsung berangkat. Banyak hal yang diluar dugaan memang saat saya melakukan petualangan pendakian gunung, ini salah satu yang bisa saya ceritakan.
Saya bisa langsung berangkat ke yogyakarta berkat ibu yang baik hati dan saya juga bisa berangkat pulang dengan kereta malam itu juga, saya doakan semoga ibu juga bisa mengejar pesawat tanpa terlambat.
Saya dan teman-teman sampai ditempat tinggal masing-masing dengan selamat, terimakasih atas pelajaran hidup yang saya dapatkan selama melakukan pendakian gunung, masih banyak orang baik di dunia ini, berbuat baik tidak perlu kepada orang yang kita kenal, kita berbuat baik kepada orang lain yakinlah orang lainpun akan memperlakukan kita dengan lebih baik. Setelah pendakian ini, saya sempat melakukan beberapa petualangan lain tapi pendakian ini menjadi penutup serial cerita pendaki yang saya tulis. terima kasih sekali lagi saya ucapkan kepada para pembaca cerita pendaki, nantikan tulisan saya yang lain di blog ini, see u :)
Comments
Post a Comment