Labels

Blog Archive

Categories

Popular Posts

Protection

Blogger templates

Blogger templates

Popular Posts

Skip to main content

Cerita Pendaki #8: Pendakian Gunung Tertinggi Jawa Tengah

Musim hujan dipenghujung tahun 2005, saat itu malam sedang gerimis, saya dan satu orang sepupu saya sedang packing untuk persiapan mendaki gunung tertinggi di jawa tengah, Gunung Slamet. Perencanaan pendakian ini terbilang cukup singkat, sore hari ngobro-ngobrol dan malam itu juga saya memutuskan berangkat menuju gunung slamet lewat jalur bambangan berdua dengan sepupu yang masih kelas tiga SMA dan sedang libur sekolah saat itu.
Saya berangkat menuju terminal cilembang dan mencari informasi mengenai bis ke daerah purwokerto. Jam sepuluh malam saya berangkat menuju purwokerto dan dilanjutkan menumpang bis ke arah pemalang dan turun di pertigaan serayu. Sampai di pertigaan serayu sekitar jam empat pagi, informasi angkutan ke arah pos pendakian sangat minim saat itu, saya hanya mengandalkan angkutan sayur yang menuju kaki gunung slamet dan berharap bisa menumpang sampai sedekat mungkin dengan pos pendakian agar menghemat waktu berjalan kaki.
Setelah subuh ada mobil sayur yang akan ke kaki gunung, dan menurut informasi mobil sayur itu melewati pertigaan yang dekat dengan pos pendakian bambangan dengan tarif sukarela. Jam setengah enam pagi sudah turun dari mobil sayur dan dilanjutkan berjalan kaki santai selama kurang lebih enam puluh menit. salah satu hal yang paling saya suka dalam mendaki gunung adalah melakukan perjalanan seperti ini, melihat kehidupan desa dari dekat dan berinteraksi langsung dengan orang-orang luar biasa yang hidup di ketinggian.
Sekitar jam enam lebih tiga puluh menit saya sampai di pos pendakian bambangan, saat nya istirahat, memasak dan sarapan, karena pagi itu di pos bambangan tidak ada yang menjual makanan untuk sarapan. Untuk menghindari panas terik saya batasi sarapan dan istirahat sampai jam delapan pagi untuk melanjutkan perjalanan ke puncak gunung slamet. Meskipun saat itu adalah libur sekolah tapi hanya ada satu kelompok pendaki lain selain saya yang akan mendaki gunung slamet, mereka mulai mendaki tiga puluh menit lebih dulu dari saya.
Saya tidak banyak mengingat bagaimana suasana selama pendakian, jalur pendakian reguler diawali dengan kebun kemudian masuk perbatasan hutan. kejadian yang paling saya ingat mulai dari pos tujuh (kalo tidak salah ingat). Pos ini adalah pos terakhir sebelum batas vegetasi, saat itu sekitar jam satu siang, saya sempat istirahat sebentar dan melihat kelompok pendaki yang sempat bertemu di basecamp sedang memasang tenda yang tandanya mereka akan camp di pos itu, karena saat itu cuaca masih cerah, saya berniat melanjutkan ke tempat lebih tinggi dan berencana camp di sebelum batas vegetasi agar lebih ringan saat melakukan summit attack besok harinya.

saat mulai meninggalkan pos tujuh sekitar jam satu siang lebih tiga puluh menit, angin kencang mulai datang sempat mempercepat langkah untuk menghindari terjebak cuaca buruk saat berjalan akhirnya saya memutuskan kembali ke pos tujuh karena cuaca berubah sangat drastis, suasana semakin gelap dan air hujan mulai turun saat saya masih memasang tenda, dan badai gunung benar-benar datang saat saya sudah didalam tenda.
Jarak pandang kurang dari lima meter, tenda pendaki yang sudah terpasang lebih dulu saja tidak bisa saya lihat, hujan deras sederas-derasnya, angin paling kencang yang pernah saya alami selama mendaki gunung terus menerpa yang menyebabkan pasak outertent atau flysheet tercabut dan air mulai masuk kedalam tenda, saya selamatkan pakaian dan perlengkapan hangat untuk survive saat badai sudah reda. Sepupu saya mencoba mengganti pasak yang terbang dengan mengganti dengan pisau komando (ukurannya jauh lebih besar dan berat dari pasak) yang tidak bertahan lama karena pisau komandonya juga diterbangkan badai dan tidak pernah ditemukan lagi.
Kondisi badai menyebabkan tidak bisa memasak dan terpaksa saya makan siang makanan jadi dan berharap badai yang mulai sekitar jam dua siang cepat reda. Menjelang gelap, sekitar jam enam sore, badai bukannya mereda malah semakin menjadi-jadi, tidak banyak yang bisa dilakukan, satu-satunya kelompok pendaki lain samar samar terdengar melantunkan doa-doa. Waktu pun terus berlalu jam sepuluh malam badai belum juga reda, selera makan malam hilang karena kecemasan yang luar biasa. Saya sempat menyampaikan kepada sepupu saya, kalo pagi hari cuaca masih sama kita akan meninggalkan tenda membawa perbekalan makanan yang cukup dan berjalan perlahan menuju basecamp. Malam itu saya beberapa kali tertidur di ninabobokan suara badai dengan posisi duduk untuk mempertahankan tubuh bagian atas kering karena semua area tenda sudah basah, sementara mental sudah mempersiapkan hal-hal paling buruk sekalipun. Beberapa kali mata terpejam dan terbuka kondisi diluar masih sama, angin kencang dan hujan deras, sampai sekitar jam dua pagi lebih tiga puluh saya terbangun tanpa mendengar suara angin kencang, hanya tersisa hujan deras dan tiga puluh menit kemudian, tepat nya jam tiga pagi hujan mulai reda dan saya memberanikan keluar tenda, kondisi masih gerimis namun jauh di cakrawala sudah terlihat bintang-bintang yang seakan memberikan kekuatan kepada saya setelah dua belas jam terjebak badai.
Meskipun kondisi masih sedikit gerimis saya bergegas memasak untuk mengisi energi. Ketika hujan benar-benar reda saya mengganti celana untuk mencegah hiportemia, dan bersyukurnya pakaian cadangan yang diamankan dan dibungkus berkali-kali lipat masih aman dan dalam kondisi kering. Pendaki lain pun (kelompok sebelah terdiri dari tiga orang) mulai keluar tenda, saya mulai berkenalan dan bercerita tentang kondisi dari kemarin siang, ternyata ini adalah pengalaman pertama mereka juga terjebak badai sedasyat itu, rencananya mereka akan melakukan ekspedisi triple S, slamet, sindoro dan sumbing, tapi dengan kejadian ini mereka akan memikirkan kembali rencananya.
Setelah selesai sarapan, kami meninggalkan tenda dan perlengkapan untuk melakukan summit attack sekitar jam lima lebih tiga puluh pagi. Summit attack berjalan lancar, saya juga sempat turun sebentar dari triangulasi untuk menjelajahi kawah. Suasana sangat tenang, cuaca juga sangat cerah, jarak pandang sangat bagus sampai garis pantai utarapun terlihat sangat jelas, hanya lima orang yang sebelumnya terjebak badai hebat yang saat itu menikmati pemandangan luar biasa tersebut.
Turun dari puncak sampai basecamp relatif lancar, hanya ada sedikit insiden saat turun dari puncak menuju batas vegetasi dimana saya mengambil jalur terlalu kanan saat turun, untung saja diingatkan salah satu pendaki dan bisa kembali ke jalur yang benar. Dari basecamp kami sepakat menyewa mobil bak terbuka milik salah satu warga untuk mempercepat akses ke kota purwokerto entah bagaimana caranya dari pos pendakian bambangan kami bisa sampai purwokerto melalui batu raden ditemani hujan sore sepanjanga jalan~ akhirnya saya dan sepupu bisa kembali ke rumah menggunakan bus dari terminal purwokerto (terminal lama).

Comments

  1. Nostalgia,alhmdulillah msh di beri kesehatan n selamat,pengalaman yg luar biasa,apakabar slamet skrg

    ReplyDelete

Post a Comment